Keberadaan agama Hindu sebagai agama tersendiri yang berbeda dengan agama Buddha dan Jainisme diperkuat oleh penegasan para penganutnya bahwa agama mereka memang demikian berbeda.[46] Berbeda dengan dua agama tersebut, Hinduisme bersifat lebih teistik. Sebagian besar sekte dan aliran Hinduisme meyakini suatu pengatur alam semesta—dasar bagi segala fenomena di dunia yang memanifestasikan diri dalam berbagai wujud—yang disebut dengan berbagai nama, seperti Iswara, Dewa, Batara, Hyang, dan lain-lain. Sebagian aliran meyakini bahwa berbagai kemajemukan di dunia merupakan bagian dari Brahman. Dalam agama Hindu, seorang umat boleh berkontemplasi tentang misteri Brahman (dalam konteks tertentu, Brahman dapat didefinisikan sebagai Tuhan personal atau pun impersonal) dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya, serta melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan atas penderitaan melalui praktik-praktik brata atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih (bhakti) dan percaya (sradha).
Akar Hinduisme
Sejak minat akan Indologi dan studi Hindu bertumbuh, sejarah dan pangkal agama Hindu telah menjadi perdebatan para cendekiawan di Dunia Barat. Sebelumnya, tidak ada istilah 'Hinduisme' atau 'agama Hindu', tetapi keberadaan tradisi Hindu seperti sekarang telah berpangkal sejak purbakala.[47] Selain itu, para ahli sulit mendefinisikan Hinduisme karena ketiadaan seorang tokoh pendiri agama tersebut. Para cendekiawan memandang Hinduisme sebagai gabungan dari berbagai kebudayaan atau tradisi yang ada di India.[48][49][50] Salah satu akarnya adalah Brahmanisme atau agama Weda Kuno dari India pada Zaman Besi,[51][49] yang merupakan hasil peleburan antara bangsa Indo-Arya dengan kebudayaan dan peradaban Harrapa.[52] Selain itu, tradisi yang mendukung perkembangan agama Hindu meliputi Sramana atau "tradisi penolakan" dari India Utara, serta kebudayaan mesolitik danneolitik di India, seperti agama-agama peradaban lembah sungai Indus,[53][54][55] tradisi bangsa Dravida,[56] serta tradisi dan agama lokal dari suku bangsa di India.[57]
Setelah periode Weda (antara 500–200 SM dan kr. 300 M,[48] pada permulaan periode "Wiracarita dan Purana" atau "periode Praklasik"), "sintesis Hindu" mulai timbul[48] (masa ketika dimasukkannya pengaruh Sramana dan Buddhisme), diiringi dengan kemunculan tradisi bhakti ke dalam balutan Brahmanisme melalui kitab-kitab Smerti. Sintesis ini muncul di bawah tekanan perkembangan Buddhisme dan Jainisme.[58] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, kitab-kitab Purana disusun, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di tengah-tengah akulturasi yang dijalani masyarakat tribal dan buta huruf. Hasilnya adalah kemunculan Hinduisme-Puranis (Puranic-Hinduism) yang memiliki perbedaan mencolok jika dibandingkan dengan Brahmanisme sebelumnya (yang berpegang pada Dharmasastra dan Smerti). Selama beberapa abad, Hinduisme dan Buddhisme tumbuh berdampingan,[59] sampai akhirnya memperoleh keunggulan pada abad ke-8 M.[60][61]
Dari India Utara, "sintesis Hindu" beserta konsep pembagian masyarakat menyebar ke India Selatan dan sebagian Asia Tenggara.[62] Hal tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan: pengadaan pemukiman bagi kaum brahmana di kawasan yang diizinkan oleh penguasa lokal;[63][64] dimasukkannya atau diasimilasikannya dewa-dewi non-Weda (tidak disebut dalam Weda) yang populer;[65][66] dan proses Sanskritisasi, yaitu kondisi ketika "orang-orang dari berbagai strata masyarakat India cenderung menyesuaikan kehidupan religius dan sosial mereka dengan norma-norma Brahmanis".[65][67] Proses asimilasi tersebut menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya lokal di India diselimuti oleh selubung persamaan konseptual.[68]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar