Jumat, 22 Januari 2016

keyakinan agama hindu

Keyakinan[sunting | sunting sumber]

Agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri dan tidak berpedoman pada satu kitab suci.[47] Meskipun demikian, ada keyakinan yang kerap dijumpai dalam berbagai tradisi Hindu. Perihal yang umum dijumpai dalam berbagai keyakinan masyarakat Hindu—namun tidak untuk terbatas pada beberapa hal tersebut—meliputi kepercayaan akan zat Yang Mahakuasa (dapat disebut sebagai IswaraAwataraDewataBatara, dan lain-lain), darma (etika/kewajiban), samsara (siklus kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali yang berulang-ulang), karma (sebab dan akibat), moksa (kebebasan dari samsara), dan berbagai yoga (jalan atau praktik spiritual).[154]

Konsep ketuhanan[sunting | sunting sumber]

Agama Hindu memiliki konsepNirguna-brahman (esensi alam semesta; realitas sejati; atau Tuhan impersonal), sementara sebagian mazhab menganut konsep Saguna-brahman (zat ilahi yang berkepribadian; Tuhan personal yang memiliki kasih sayang), yang menyebut Tuhan dengan nama WisnuSiwa, atau bahkan Sakti (kualitas feminin dari Tuhan), contohnya Saraswati (gambar).
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang bersifat monoteismepoliteismepanenteisme,panteismemonisme, dan ateisme.[155][156][157][158] Konsep ketuhanannya bersifat kompleks dan bergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi dan filsafat yang diikuti. Kadangkala agama Hindu dikatakan bersifat henoteisme (melakukan pemujaan terhadap satuTuhan, sekaligus mengakui keberadaan para dewa), namun istilah-istilah demikian hanyalah suatu generalisasi berlebihan.[159]
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu sendiri telah membuktikan keberadaan Tuhan.[160] Nyaya merupakan suatu perguruan logika, sehingga menarik kesimpulan "logis" bahwa [keberadaan] alam semesta hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu "penyebab" di balik semuanya.[161]
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang menjadi asal usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena.[162] Tetapi, umat Hindu tidak menyembah Brahman secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah yang disematkan bagi suatu kekuatan yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif, yaitu kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang dirapalkan para ahliWeda, sehingga mereka disebut brahmana.[163] Kadangkala, Brahman dipandang sebagai Yang Mahamutlak atau Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materienergiwakturuangbenda, dan sesuatu di dalam atau di luar alam semesta. Sebagai hasil dari berbagaikontemplasi tentang Brahman, maka Ia dapat dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa atribut (Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab dan aliran.
Mazhab dan aliran Hindu-dualistis—seperti Dwaita dan tradisi Bhakti—menyembah Tuhan yang berkepribadian (memiliki guna atau "atribut ketuhanan", yaitu supremasi dari sifat-sifat baik manusia seperti Maha-penyayang, Maha-pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya), sehingga mereka memujanya dengan nama WisnuSiwaDewiDewataBatara, dan lain-lain, tergantung aliran masing-masing. Dalam tradisi Hindu pada umumnya, Tuhan yang dipandang sebagai zat mahakuasa dengan supremasi dari sifat baik manusia—daripada dianggap sebagai asas semesta yang tak terbatas—disebut IswaraBhagawan, atau Parameswara.[164] Meski demikian, ada beragam penafsiran tentang Iswara, mulai dari keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada—sebagaimana ajaran Mimamsa—sampai pengertian bahwa Brahman dan Iswara sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan mazhab Adwaita.[165] Dalam banyak tradisiWaisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab Waisnawa menyebutnya sebagai Kresna, dan kadangkala menyebutnya Swayam Bhagawan. Sementara itu, dalam aliran Sakta, Ia disebut Dewi atau Adiparasakti, sedangkan dalam aliran Saiwa, Ia disebut Siwa. Ajaran Smarta yang monistis memandang bahwa seluruh nama-nama ilahi seperti WisnuSiwaGanesaSaktiSurya, dan Skanda sesungguhnya manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.
Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan bahwa pada hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.[166] Menurut mazhab ini, Tuhan yang berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat kemanusiaan seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya.[167] Menurut mazhab ini, pikiran manusia yang terperangkapmaya menyebabkan Brahman terbayangkan sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut tertentu, yang dapat disebut sebagai IswaraBhagawanWisnu, dan nama-nama lainnya.[167] Mazhab ini menegaskan bahwa tiada larangan untuk membayangkan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu, namun tujuan hidup sejati adalah untuk merasakan bahwa "sesuatu yang nyata" dalam tiap makhluk sesungguhnya tiada berbeda dengan Brahman.[168] Mazhab Adwaita dapat dikatakan sebagai monisme atau panteisme karena meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal dari Brahman, namun pada "hakikatnya" sama dengan Brahman.[169]
Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa.[170] Dalam kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan (Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga (keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui.[171] Samkhya berpendapat bahwa Tuhan yang abadi tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang senantiasa berubah. Dikatakan bahwa Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk suatu keadaan.[172] Pendukung dari aliran Mimamsa—yang berdasarkan pada ritual dan ortopraksi—menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat postulat tentang suatu "pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa penulis Weda atau Tuhan apa yang dibuatkan upacara.[127] Mimamsa menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang tertulis dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk keperluan mantra belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang sebenarnya merupakan "kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan mantra belaka.[173]

Atman dan jiwa[sunting | sunting sumber]

Diagram yang menunjukkan lapisan penyelubung atman:
 • annamayakosa (lapisan badan kasar yang mengandung daging dan kulit)
 • pranamayakosa (lapisan tenaga kehidupan)
 • manomayakosa (lapisan pikiran atau indera yang menerima rangsangan)
 • wijanamayakosa (lapisan nalar, akal budi, atau kecerdasan)
 • anandamayakosa (lapisan kebahagiaan atau tubuh kausal)
Dalam agama Hindu terdapat keyakinan bahwa ada "sesuatu yang sejati" dalam tiap individu yang disebut atman, sifatnya abadi atau tidak terhancurkan.[174] Taittiriya-upanishad mendeskripsikan bahwa atman individu diselimuti oleh lima lapisan:annamayakosapranamayakosamanomayakosawijanamayakosa, dan anandamayakosa.[175] Istilah atman dan jiwa kadangkala dipakai untuk konteks yang sama. Dalam suatu pengertian, atman adalah percikan dari Brahman, sedangkan jiwa adalah penggerak segala makhluk hidup.[176]
Menurut teologi Hindu yang monistis/panteistis (seperti mazhab Adwaita Wedanta), sukma individu sama sekali tiada berbeda dariBrahman. Sukma individu disebut jiwatman, sedangkan Brahman disebut paramatman. Maka dari itu, ajaran ini disebut aliran non-dualis.[165] Ketika tubuh individu hancur, jiwa tidak turut hancur. Sebaliknya, ia berpindah ke tubuh baru melalui reinkarnasi(samsara). Jiwa mengalaminya karena diselubungi oleh awidya atau "ketidaksadaran" bahwa dirinya sesungguhnya sama dengan Paramatman. Tujuan kehidupan menurut mazhab Adwaita adalah untuk mencapai kesadaran bahwa atman sesungguhnya sama dengan Brahman.[177] Kitab Upanishad menyatakan bahwa siapa pun yang merasakan bahwa atman merupakan esensi dari tiap individu, maka ia akan menyadari kesetaraan dengan Brahman, sehingga mencapai moksa (kebebasan atau kemerdekaan dari proses reinkarnasi/samsara).[178]
Yoga dari Resi Patanjali—sebagaimana yang diuraikan dalam Yogasutra—berbeda dengan monisme yang diuraikan dalam filsafat Adwaita.[179] Menurut yoga, pencapaian spiritual tertinggi bukanlah untuk menyadari bahwa segala kemajemukan di alam semesta merupakan maya. Jati diri yang diperoleh saat mencapai pengalaman religius tertinggi bukanlah atman belaka. Itu hanyalah salah satu jati diri yang ditemukan oleh individu. Meruntuhkan "tembok alam sadar manusia" untuk membangun "persatuan" jati diri individu (jiwatman) dengan sukma alam semesta (paramatman), merupakan tujuan praktik yoga.[180]
Menurut pemahaman dualistis seperti mazhab Dwaita, jiwa merupakan entitas yang berbeda dengan Tuhan, namun memiliki kesamaan. Jiwa bergantung kepada Tuhan, sedangkan pencapaian moksa (lepas dari samsara) bergantung kepada cinta pada Tuhan serta kasih sayang Tuhan.[181]

Para dewa dan awatara[sunting | sunting sumber]

Lukisan dari akhir abad ke-18, menggambarkan tiga dewa utama Hinduisme—BrahmaWisnu, danSiwa—beserta sakti (pasangan) masing-masing.
Umat dari berbagai sekte agama Hindu memuja dewa-dewi tertentu yang tak terhitung banyaknya dan mengikuti aneka upacara untuk memuja dewa-dewi tersebut. Karena merupakan agama Hindu, maka para penganutnya memandang kekayaan tradisi tersebut sebagai ungkapan dari suatu realitas yang kekal. Dewa-dewi yang memanggul senjata dipahami oleh umatnya sebagai simbol-simbol dari suatu realitas sejati yang tunggal.
— Brandon Toropov & Luke Buckles, The Complete Idiot's Guide to World Religions.[182]
Susastra Hindu menyebutkan suatu kelompok entitas ilahi yang disebut dewa (atau dewi dalam bentuk feminin, sedangkandewata bersinonim dengan dewa), bermakna "yang bersinar", atau dapat diterjemahkan sebagai "makhluk surgawi".[183][184]Para dewa merupakan bagian integral dalam kebudayaan Hindu dan ditampilkan dalam kesenian (lukisanpatungrelief),arsitektur, dan ikon. Cerita mitologis mengenai keberadaan mereka terkandung dalam sejumlah sastra Hindu, terutamawiracarita Hindu dan Purana.
Keberadaan banyak dewa diyakini sebagai manifestasi dari Brahman.[i] Pustaka Weda dan Upanishad tidak mengajarkanpanteisme atau pun politeisme, melainkan monoteisme dan monisme.[186] Ada banyak dewa, namun mereka merupakan manifestasi berbagai aspek dari suatu "kenyataan sejati".[186] Keberadaan konsep monisme dan monoteisme berjalin-jalin. Dalam banyak sloka, kenyataan sejati dikatakan imanen, sedangkan dalam sloka lainnya dikatakan transenden.[187] Secara monisme, kenyataan sejati tersebut adalah Brahman, sedangkan pandangan monoteisme lebih berfokus pada wujud-wujud beratribut (Saguna) dari Brahman.[187]
Biasanya pengertian dewa dibedakan dengan Iswara (Tuhan Yang Maha Esa), meskipun banyak umat Hindu menyembah Iswara dalam suatu perwujudan tertentu (seolah-olah ada Tuhan yang berbeda) sebagai istadewata (iṣṭa devatā), yaitu sosok ideal (dewa-dewi tertentu) dari Tuhan yang cenderung dipuja.[188][189] Pilihan tersebut bergantung pada preferensi seseorang atau menurut tradisi regional dan keluarga.[190]
Dalam kitab suci Regweda disebutkan adanya 33 dewa atau dewata, dan Purana menjelaskan bahwa sebagian di antaranya merupakan para putra Dewi Aditi dan Bagawan Kasyapa, dan merupakan murid dari Wrehaspati. Menurutmitologi Hindu dalam Purana, sebelum memperoleh keabadian melalui tirta amerta (minuman keabadian), dewata adalah golongan makhluk yang berseteru dengan para asura atau raksasa dan dapat gugur dalam pertempuran. Kekuatan dewata berbeda dengan tiga dewa utama yang abadi—BrahmaWisnuSiwa.
Siwa dan Wisnu dimuliakan sebagai Mahadewa karena kemasyhuran mereka dalam kitab suci dan pemujaan.[191] Mereka berdua, beserta Brahma, dipandang sebagai Trimurti—tiga aspek dari Yang Mahakuasa. Ketiga aspek tersebut melambangkan seluruh siklus samsara menurut agama Hindu: Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pelindung atau pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur. Dua di antara tiga dewa tersebut, yaitu Wisnu dan Siwa memiliki pengikut dengan jumlah banyak sehingga membentuk dua aliran utama (Waisnawa dan Saiwa) dalam tubuh agama Hindu. Dalam kajian tentang TrimurtiSir William Jones menyatakan bahwa umat Hindu "menyembah Tuhan dalam tiga wujud:WisnuSiwaBrahma … Gagasan fundamental agama Hindu, bahwa metamorfosis, atau transformasi, dicontohkan melalui [konsep] awatara."[192]
Tridewi ("Tiga Dewi") dalam agama Hindu memiliki peran penting sebagaimana Trimurti dan berfungsi sebagai pasangan bagi Trimurti. Brahma adalah Sang Pencipta, sehingga ia membutuhkan pengetahuan atau Dewi Saraswati. Wisnu adalah Sang Pelindung, sehingga ia membutuhkan kemakmuran, yang dimanifestasikan sebagai Dewi Laksmi (Sri). Sedangkan Siwa adalah Sang Pelebur, sehingga ia membutuhkan Dewi ParwatiDurga, atau Kali sebagai kekuatannya. Para dewi tersebut adalah manifestasi dari satu entitas, yaitu Sakti.
Wiracarita Hindu dan Purana menceritakan beberapa kisah tentang turunnya Tuhan ke dunia (inkarnasi) dalam wujud fana demi menegakkan di masyarakat dan menuntun manusia mencapai moksa. Inkarnasi itu disebut pula awatara. Beberapa awatara terkenal merupakan perwujudan Wisnu, meliputi Rama (tokoh utama Ramayana) dan Kresna(tokoh penting dalam Mahabharata).

Karma dan reinkarnasi[sunting | sunting sumber]

Dua sadu di Kuil Pahupatinatha, Nepal.
Sadu adalah istilah bagi kaum yogi yang sedang menempuh Rajayoga, yaitu jalan pengendalian pikiran, demi melepaskan diri dari belenggu duniawi sehingga dapat mencapai kesadaran spiritual tingkat tinggi atau bahkan moksa.
Karma diterjemahkan secara harfiah sebagai tindakan, kerja, perbuatan,[193] dan dapat dideskripsikan sebagai "hukum moral sebab–akibat".[194] Menurut hukum karma, nasib baik berasal dari tindakan baik terdahulu, dan nasib buruk berasal dari tindakan buruk terdahulu, yang merupakan suatu sistem aksi-reaksi dan membentuk suatu siklus reinkarnasi.[195] Fenomena sebab-akibat tersebut tidak hanya berlaku bagi dunia material, namun juga terhadap pikiran, perkataan, tindakan, dan tindakan yang dilakukan berdasarkan perintah seseorang.[196]
Menurut kitab Upanishad, suatu jiwa membentuk sanskara (kesan) dari tindakan, baik secara fisik atau mental. Linga-sarira(tubuh yang lebih halus daripada tubuh fisik namun lebih kasar daripada jiwa) dilekati kesan-kesan tersebut, dan membawanya ke kehidupan selanjutnya, sehingga menciptakan jalan kehidupan tersendiri bagi setiap orang.[197] Maka dari itu, konsep karma—yang universal, netral, dan tak pernah meleset—berkaitan dengan reinkarnasi, demikian pula kepribadian, watak, dan keluarga seseorang. Karma menyatukan konsep kehendak bebas dan nasib.
Karena agama Hindu meyakini bahwa jiwa tidak dapat dihancurkan,[198] maka kematian tidak dipandang sebagai momok bagi kehidupan karena merupakan fenomena alami.[199] Maka dari itu, seseorang yang sudah meninggalkan ambisi dan keinginannya, tidak memiliki tanggung jawab lagi di dunia, atau terjangkiti penyakit mematikan dapat mengusahakan kematian dengan cara Prayopavesa.[200]
Siklus aksi, reaksi, kelahiran, kematian, dan kelahiran adalah proses berkesinambungan yang disebut samsara (reinkarnasi). Pemahaman akan reinkarnasi dan karma merupakan premis kuat dalam filsafat Hindu. Dalam kitab Bhagawadgita (II:22) tertulis:
Seperti halnya seseorang memakai baju baru dan menanggalkan baju yang lama,
demikian pula jiwa memasuki tubuh yang baru, meninggalkan tubuh yang lama.
Dalam kepercayaan Hindu, samsara memberikan kesempatan bagi manusia untuk menikmati kesenangan sesaat pada setiap kelahiran. Selama manusia terlena untuk terus menikmati kesenangan tersebut, maka mereka akan dilahirkan kembali. Akan tetapi, pelepasan diri dari belenggu samsara (melalui moksa) diyakini dapat memberikan kebahagiaan dan kedamaian abadi.[201] Menurut kepercayaan ini, setelah mengalami reinkarnasi berkali-kali, pada akhirnya suatu atman akan mencari persatuan dengan sukma alam semesta (Brahman/Paramatman).
Dalam agama Hindu, tujuan hidup sejati—yang disebut sebagai moksanirwana, atau semadi—dipahami dalam berbagai arti: realisasi penyatuan jiwa dengan Tuhan; realisasi hubungan kekal dengan Tuhan; realisasi dari penyatuan seluruh hal yang ada; wawas diri sempurna serta pengetahuan akan diri yang sejati; pencapaian atas kedamaian batin yang sempurna; dan pelepasan dari segala keinginan duniawi. Realisasi semacam itu membebaskan seseorang dari samsara dan mengakhiri siklus lahir kembali.[202][203]
Konseptualisasi moksa berbeda-beda tergantung mazhab atau aliran Hinduisme. Sebagai contoh, mazhab Adwaita Wedanta berpedoman bahwa setelah mencapai moksa, atman tidak lagi mengenali dirinya sebagai individu, melainkan menyadari bahwa Brahman identik dalam segala hal, termasuk kesamaannya dengan atman. Pengikut mazhabDwaita (dualistis) memandang individu sebagai bagian dari Brahman, dan setelah mencapai moksa, mereka yakin akan memperoleh kekekalan di loka bersama dengan manifestasi Iswara yang dipilihnya. Maka dari itu, dianalogikan bahwa pengikut dwaita berharap untuk "menikmati gula", sementara pengikut Adwaita berharap untuk "menjadi gula".[204]

Tujuan hidup manusia[sunting | sunting sumber]

Filsafat Hindu klasik mengakui empat hal yang harus dipenuhi sebagai tujuan hidup manusia—sebagaimana dijabarkan di bawah ini—yang disebut purusarta:
  • Darma: Darma adalah prinsip yang tak boleh diabaikan oleh umat Hindu. Darma dapat dipandang sebagai kewajiban (dalam hal kegiatan duniawi atau pun rohani), hukum, keadilan, tindakan benar, dan berbagai kualitas yang mendukung harmoni segala sesuatu. Brihadaranyaka-upanishad memandang darma sebagai prinsip universal—tentang aturan, kewajiban, dan harmoni—yang berasal dari Brahman. Darma berlaku sebagai prinsip moral bagi alam semesta. Darma merupakan sat (kebenaran), ajaran pokok dalam agama Hindu. Hal ini berpangkal pada pernyataan dalam Regweda bahwa "Ekam Sat," (Kebenaran Hanya Satu), dari keyakinan bahwa Brahman itu sendiri merupakan "Satcitananda" (Kebenaran-Kesadaran-Keberkatan). Darma tidak hanya sekadar aturan atau harmoni, namun kebenaran murni. Dalam MahabharataKresnamendefinisikan darma sebagai penegak perkara di dunia manusia dan dunia lain (Mbh 12.110.11). Kata Sanātana berarti 'kekal', 'tak mati', atau 'selamanya'; maka, agama Hindu sebagai Sanātana-dharma bermakna suatu darma yang tidak berawal atau berakhir.[205]
  • Arta: Arta adalah upaya mencari harta demi penghidupan dan kemakmuran. Hal ini juga mencakup usaha mencari pekerjaan, berpolitik, memelihara kesehatan, dan mencari kesejahteraan material.[206] Arta dibutuhkan demi mencapai kehidupan yang makmur sentosa, terutama bagi umat yang sudah berumah tangga. Ajaran tentang arta disebut Arthashastra, dan yang termasyhur di antaranya adalah Arthashastra karya Kautilya.[207]
  • Kama: Kama berarti hasrat, keinginan, gairah, kemauan, dan kenikmatan panca indra. Kama dapat pula berarti kesenangan estetis dalam menikmati kehidupan (seni,hiburan, kegembiraan), kasih sayang, atau pun asmara.[208][209] Akan tetapi, kama dalam hubungan asmara atau percintaan hanya dapat dipenuhi melalui hubunganpernikahan. Kama dibutuhkan dalam membangun kehidupan rumah tangga, atau grehasta.
  • Moksa: Moksa atau mukti adalah tujuan hidup yang utama bagi umat Hindu. Moksa adalah keadaan yang sama sekali berbeda dengan pencapaian surga. Moksa adalah suatu kondisi saat individu menyadari esensi dan realitas sejati dari alam semesta, sehingga individu mengalami kemerdekaan dari kesan-kesan duniawi, tanpa suka atau pun duka, lepas belenggu samsara, serta lepas dari hasil perbuatan (karma) yang melekati individu selama mengalami proses reinkarnasi.[210]

Jalan menuju Tuhan[sunting | sunting sumber]

Karma marga
Karmayoga
Bhakti marga
Bhaktiyoga
Jñāna marga
Jnanayoga
Rāja yoga
Rajayoga
Empat jalan spiritualitas (caturmarga) dalam agama Hindu. Setiap jalan menyediakan cara yang berbeda untuk mencapai moksa.
Umat Hindu memenuhi tujuan hidupnya dengan menempuh jalan yang berbeda-beda. Jalan tersebut merupakan yoga. Yoga di sini dapat diartikan sebagai disiplin fisik, mental, dan spiritual demi memperoleh kedamaian dan ketenangan pikiran.[211] Dalam konteks dan tradisi lain, yoga dapat pula didefinisikan sebagai "upaya mengendalikan pikiran agar [pikiran] tidak liar", atau "[usaha] mempersatukan diri dengan Tuhan".[211] Ajaran tentang pelaksanaan yoga dihimpun dan diuraikan oleh para resi atau orang bijak. Kitab yang memuat ajaran yoga meliputi BhagawadgitaYogasutraHathayoga-pradipika, dan Upanishad sebagai basis filosofis dan historisnya. Yoga mengarahkan umat Hindu untuk mencapai tujuan hidup yang spiritual (moksa, samadhi, atau nirwana), baik secara langsung maupun tidak langsung. Empat macam jalan (yoga) utama yang sering disinggung yakni:[212]
  1. Karmayoga (melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya dengan ikhlas)
  2. Bhaktiyoga (mencintai Tuhan dan menyayangi segala makhluk)
  3. Jnanayoga (mencari pengetahuan dan berkontemplasi tentang Tuhan)
  4. Rajayoga (mengendalikan pikiran dengan meditasi, sikap tubuh, atau semacamnya)
Seseorang dapat memilih salah satu atau beberapa yoga sekaligus, sesuai dengan kecenderungan dan pemahamannya. Beberapa aliran Hinduisme yang menekankan pengabdian mengajarkan bahwa bhakti adalah satu-satunya jalan praktis untuk mencapai kesempurnaan spiritual bagi masyarakat awam, berdasarkan kepercayaan bahwa dunia sedang berada pada masa Kaliyuga (salah satu jangka waktu dalam siklus Yuga yang kini sedang berlangsung).[213] Melaksanakan salah satu yoga tidak berarti mengabaikan yang lainnya. Banyak mazhab Hinduisme mengajarkan bahwa berbagai yoga secara alami berbaur dan mendukung pelaksanaan yoga lainnya. Contohnya praktikjnanayoga, yang dianggap pasti mengarahkan seseorang untuk memberikan kasih sayang murni (tujuan utama bhaktiyoga), dan demikian sebaliknya.[214] Seseorang yang mendalami meditasi tingkat tinggi (seperti yang ditekankan raja yoga) harus mewujudkan prinsip pokok dari karmayogajnanayoga, dan bhaktiyoga, baik secara langsung maupun tak langsung.[212][215]

Pustaka suci[sunting | sunting sumber]

Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, agama Hindu berdasarkan kepada himpunan pedoman spiritual yang ditemukan oleh orang yang berbeda-beda pada zaman yang berbeda-beda.[216][217] Selama berabad-abad, pedoman itu diwariskan secara lisan dalam bentuk syair agar dapat dihafalkan, sampai akhirnya dituliskan.[218]Selama berabad-abad, para resi menyaring ajaran tersebut dan memperluas dalil-dalilnya. Pada masa setelah Periode Weda dan menurut keyakinan Hindu masa kini, banyak pustaka Hindu tidak untuk ditafsirkan secara harfiah. Yang diutamakan adalah etika dan makna metaforis yang terkandung di dalamnya.[219] Di antara pustaka suci tersebut,Weda merupakan yang paling tua, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah TantraAgamaPurana, serta dua wiracarita, yaitu Ramayana dan MahabharataBhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalamMahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai intisari Weda. Banyak pustaka Hindu yang ditulis dalam bahasa Sanskerta. Pustaka-pustaka tersebut digolongkan menjadi dua kelas: Sruti dan Smerti.

Sruti[sunting | sunting sumber]

Regweda adalah salah satu kitab suci tertua di dunia. Naskah Regwedadalam foto ini ditulis dengan aksara Dewanagari.
Sruti (artinya "apa yang didengar")[220] terutama mengacu kepada kumpulan Weda, yang merupakan bentuk pustaka Hindu tertua. Banyak umat Hindu mengagungkan Weda sebagai kebenaran abadi yang diwahyukan kepada para resi purbakala,[217][221] sementara umat yang lain tidak menyangkutpautkan penyusunan Weda dengan Tuhan atau seseorang. Umat Hindu meyakini kumpulan Wedasebagai pedoman bagi dunia spiritual, yang akan ada selama-lamanya, bahkan tetap ada jika seandainya tidak pernah diwahyukan kepada para resi.[216][222] Umat Hindu memiliki kepercayaan demikian karena mengimani bahwa kebenaran spiritual dalam Weda bersifat kekal, yang dapat terus diungkapkan dengan cara-cara yang baru.[223]
Ada empat kitab Weda, yaitu Regweda (Ṛgveda), Samaweda (Sāmaveda), Yajurweda (Yajurveda), dan Atharwaweda (Atharvaveda). Kitab Regweda adalah kitab Weda yang pertama dan terpenting. Setiap Weda dibagi menjadi empat bagian: yang utama—Weda yang baku—adalah Samhita (Saṃhitā), yang menghimpun mantra-mantra. Tiga bagian lainnya membentuk seperangkat golongan suplemen bagi Samhita, biasanya dalam bentuk prosa dan dipercaya berusia lebih muda daripada Saṃhitā. Adapun tiga bagian tersebut adalahBrahmana (Brāhmaṇa), Aranyaka (Āraṇyaka), dan Upanishad. Dua bagian pertama disebut Karmakanda (Karmakāṇḍa; porsi ritual), sedangkan yang terakhir disebut Jnanakanda (Jñānakāṇḍa; porsi pengetahuan).[224] Kumpulan Weda berfokus kepada pelaksanaan upacara, sementara kumpulan Upanishad berfokus kepada pandangan spiritual dan ajaran filosofis, serta memperbincangkan Brahmandan reinkarnasi.[219][225][226]

Smerti[sunting | sunting sumber]

Kitab-kitab Hindu yang tak termasuk Sruti digolongkan ke dalam Smerti (ingatan). Kitab Smerti yang terkenal yaitu wiracarita India (Itihasa), terdiri dari Mahabharata(Mahābhārata) dan Ramayana (Rāmāyaṇa). Itihasa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu pada masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat keagamaanmitologi, dan cerita tentang makhluk supernatural.
Kitab Bhagawadgita (Bhagavadgītā) merupakan suatu bagian integral dalam Mahabharata, dan merupakan salah satu kitab suci Hindu yang masyhur. Kitab tersebut mengandung ajaran filosofis yang dinarasikan oleh Kresna—sebagai awatara Wisnu—kepada Arjuna, menjelang perang di KurukshetraBhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ± 650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok ajaran Weda.[227] Akan tetapi, kitab yang termasuk Gita—kadangkala disebut Gitopanishad—seringkali digolongkan ke dalam Sruti, karena konteksnya bersifat Upanishad.[228]
Kitab-kitab Purana (Purāṇa)—yang menguraikan ajaran-ajaran Hindu melalui kisah-kisah yang gamblang—tergolong ke dalam Smerti. Purana memuat mitologilegenda, dan kisah-kisah zaman purba yang diyakini kebenarannya oleh umat Hindu. Kata Purana berarti "sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana.
Kitab lain yang tergolong ke dalam Smerti meliputi Dewimahatmya (Devīmahātmya), TantraYogasutraTirumantiramSiwasutra, dan Agama (Āgama). Selain itu, ada kitabManusmerti, yang merupakan kitab hukum preskriptif yang mendasari aturan kemasyarakatan dan stratifikasi sosial yang kemudian menuntun masyarakat membentuk sistem kasta di India. Kitab Tantra memuat tentang cara pemujaan masing-masing aliran dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindudan peletakkan arca. Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya suatu musim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar