Jumat, 22 Januari 2016

Periode Weda

Periode Weda
Peta dataran subur India Utara.
Periode Weda—yang berlangsung dari kr. 1750 sampai 500 SM[234][n]—disebut demikian karena berdasarkan agama berbasis Weda yang dianut oleh bangsa Indo-Arya,[260][o] yang bermigrasi ke India barat daya setelah mundurnya peradaban lembah sungai Indus[261][262][263] (ada kemungkinan dari stepa Asia Tengah).[252][264] Bangsa ini membawa serta bahasa[265] dan agama mereka.[251][266] Agama mereka berkembang lebih jauh ketika bermigrasi ke dataran India Utarasetelah kr. 1100 SM dan menjadi pastoralis.[267][268][269]
Meskipun kepercayaan dan praktik pada masa Hinduisme Praklasik boleh jadi berasal dari bahan-bahan agama Proto-Indo-Eropa (yang masih hipotesis),[270] sastra yang mendasari tradisi pada masa itu adalah Weda Samhita, sehingga periode tersebut dinamai demikian. Kitab tertua di antara sastra Weda tersebut adalah Regweda, yang diperkirakan telah disusun pada periode 1700–1100 SM.[p] Sastra Weda memusatkan pemujaan kepada para dewa seperti IndraBaruna, dan Agni, serta melangsungkan upacara Soma. Kurban dengan api, yang disebut yadnya (yajña) dilaksanakan dengan merapalkanmantra-mantra Weda.[272][273] Sastra Weda dikodifikasi ketika bangsa Indo-Arya mulai menduduki dataran India Utara yang subur, kemudian melakukan transisi dari masyarakat penggembala menuju masyarakat agraris, sehingga kebutuhan akan organisasi yang lebih terstruktur mulai timbul. Masyarakat baru tersebut melibatkan penduduk yang lebih dahulu bermukim di dataran subur tersebut. Mereka dimasukkan ke dalam sistem warna menurut bangsa Arya, dengan otoritas politik dan keagamaan berada di tangan kaum brahmana dan kesatria.[274]
Selama Periode Weda Awal (kr. 1500–1100 SM), suku-suku penganut Weda merupakan suku penggembala, berkelana di sekitar India sebelah barat laut.[275] Setelah 1100 SM, seiring ditemukannya besi, suku-suku penganut Weda berpindah ke dataran India Utara sebelah barat, dan mengadaptasi gaya hidup agraris.[276][277] Bentuk-bentuk wilayah berdaulat yang belum sempurna mulai muncul, dan yang paling menonjol atau berpengaruh adalah kerajaan suku Kuru.[267][278] Kerajaan tersebut merupakan ikatan kesukuan, yang kemudian berkembang menjadi masyarakat setingkat negara—yang pertama kali tercatat dalam sejarah Asia Selatan—sekitar 1000 M.[267] Secara terang-terangan, mereka mengubah warisan budaya dari Periode Weda sebelumnya, mengumpulkan himne-himne Weda menjadi suatu himpunan, dan mengembangkan upacara-upacara baru yang menonjol dalam peradaban India sebagai upacara-upacara srauta,[267] yang berkontribusi bagi "sintesis klasik" atau "sintesis Hindu".[274][48]
Pada abad ke-9 dan ke-8 SM terjadi penyusunan kitab-kitab Upanishad tertua.[279] Upanishad membentuk suatu dasar teoritis bagi Hinduisme Klasik dan dikenal sebagaiWedanta (kesimpulan dari Weda).[280] Kitab-kitab Upanishad kuno menangkal intensitas upacara-upacara yang kian bertambah.[281] Spekulasi monistis yang beragam dari ajaran Upanishad disintesiskan menjadi suatu kerangka teistis dalam kitab suci Hindu Bhagawadgita.[282]
Etika dalam kitab-kitab Weda berdasarkan konsep satya dan reta. Satya adalah prinsip integrasi yang berakar pada kemutlakan. Reta adalah ungkapan dari satya, yang meregulasi dan mengkoordinasi jalannya alam semesta beserta segala sesuatu di dalamnya.[283] Kesesuaian dengan reta akan memungkinkan sesuatu berjalan sebagaimana mestinya, sedangkan penyimpangan akan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan.[284] Istilah dharma sudah digunakan dalam filsafat-filsafat Brahmanis, yang dipandang sebagai aspek dari reta.[285] Istilah reta juga dikenal dalam agama Proto-Indo-Iran, yaitu agama orang-orang Indo-Iran sebelum kehadiran kitab-kitab Weda (Indo-Aryan) danZoroastrianisme (Iran). Asha (aša) adalah istilah dalam bahasa Avesta yang mirip dengan ṛta dalam Weda.[286]
Kitab-kitab Weda merupakan pustaka bagi golongan atas, dan tidak semata-mata mengungkapkan gagasan atau praktik yang populer.[287] Agama berbasis Weda pada periode selanjutnya hadir berdampingan dengan agama-agama lokal—seperti pemujaan Yaksa[274][288][289]—dan ia sendiri merupakan hasil dari campuran antara kebudayaan Indo-Arya dengan Harrapa.[52]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar