Jumat, 22 Januari 2016

keyakinan agama hindu

Keyakinan[sunting | sunting sumber]

Agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri dan tidak berpedoman pada satu kitab suci.[47] Meskipun demikian, ada keyakinan yang kerap dijumpai dalam berbagai tradisi Hindu. Perihal yang umum dijumpai dalam berbagai keyakinan masyarakat Hindu—namun tidak untuk terbatas pada beberapa hal tersebut—meliputi kepercayaan akan zat Yang Mahakuasa (dapat disebut sebagai IswaraAwataraDewataBatara, dan lain-lain), darma (etika/kewajiban), samsara (siklus kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali yang berulang-ulang), karma (sebab dan akibat), moksa (kebebasan dari samsara), dan berbagai yoga (jalan atau praktik spiritual).[154]

Konsep ketuhanan[sunting | sunting sumber]

Agama Hindu memiliki konsepNirguna-brahman (esensi alam semesta; realitas sejati; atau Tuhan impersonal), sementara sebagian mazhab menganut konsep Saguna-brahman (zat ilahi yang berkepribadian; Tuhan personal yang memiliki kasih sayang), yang menyebut Tuhan dengan nama WisnuSiwa, atau bahkan Sakti (kualitas feminin dari Tuhan), contohnya Saraswati (gambar).
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang bersifat monoteismepoliteismepanenteisme,panteismemonisme, dan ateisme.[155][156][157][158] Konsep ketuhanannya bersifat kompleks dan bergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi dan filsafat yang diikuti. Kadangkala agama Hindu dikatakan bersifat henoteisme (melakukan pemujaan terhadap satuTuhan, sekaligus mengakui keberadaan para dewa), namun istilah-istilah demikian hanyalah suatu generalisasi berlebihan.[159]
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu sendiri telah membuktikan keberadaan Tuhan.[160] Nyaya merupakan suatu perguruan logika, sehingga menarik kesimpulan "logis" bahwa [keberadaan] alam semesta hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu "penyebab" di balik semuanya.[161]
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang menjadi asal usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena.[162] Tetapi, umat Hindu tidak menyembah Brahman secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah yang disematkan bagi suatu kekuatan yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif, yaitu kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang dirapalkan para ahliWeda, sehingga mereka disebut brahmana.[163] Kadangkala, Brahman dipandang sebagai Yang Mahamutlak atau Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materienergiwakturuangbenda, dan sesuatu di dalam atau di luar alam semesta. Sebagai hasil dari berbagaikontemplasi tentang Brahman, maka Ia dapat dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa atribut (Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab dan aliran.
Mazhab dan aliran Hindu-dualistis—seperti Dwaita dan tradisi Bhakti—menyembah Tuhan yang berkepribadian (memiliki guna atau "atribut ketuhanan", yaitu supremasi dari sifat-sifat baik manusia seperti Maha-penyayang, Maha-pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya), sehingga mereka memujanya dengan nama WisnuSiwaDewiDewataBatara, dan lain-lain, tergantung aliran masing-masing. Dalam tradisi Hindu pada umumnya, Tuhan yang dipandang sebagai zat mahakuasa dengan supremasi dari sifat baik manusia—daripada dianggap sebagai asas semesta yang tak terbatas—disebut IswaraBhagawan, atau Parameswara.[164] Meski demikian, ada beragam penafsiran tentang Iswara, mulai dari keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada—sebagaimana ajaran Mimamsa—sampai pengertian bahwa Brahman dan Iswara sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan mazhab Adwaita.[165] Dalam banyak tradisiWaisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab Waisnawa menyebutnya sebagai Kresna, dan kadangkala menyebutnya Swayam Bhagawan. Sementara itu, dalam aliran Sakta, Ia disebut Dewi atau Adiparasakti, sedangkan dalam aliran Saiwa, Ia disebut Siwa. Ajaran Smarta yang monistis memandang bahwa seluruh nama-nama ilahi seperti WisnuSiwaGanesaSaktiSurya, dan Skanda sesungguhnya manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.
Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan bahwa pada hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.[166] Menurut mazhab ini, Tuhan yang berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat kemanusiaan seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya.[167] Menurut mazhab ini, pikiran manusia yang terperangkapmaya menyebabkan Brahman terbayangkan sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut tertentu, yang dapat disebut sebagai IswaraBhagawanWisnu, dan nama-nama lainnya.[167] Mazhab ini menegaskan bahwa tiada larangan untuk membayangkan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu, namun tujuan hidup sejati adalah untuk merasakan bahwa "sesuatu yang nyata" dalam tiap makhluk sesungguhnya tiada berbeda dengan Brahman.[168] Mazhab Adwaita dapat dikatakan sebagai monisme atau panteisme karena meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal dari Brahman, namun pada "hakikatnya" sama dengan Brahman.[169]
Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa.[170] Dalam kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan (Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga (keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui.[171] Samkhya berpendapat bahwa Tuhan yang abadi tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang senantiasa berubah. Dikatakan bahwa Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk suatu keadaan.[172] Pendukung dari aliran Mimamsa—yang berdasarkan pada ritual dan ortopraksi—menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat postulat tentang suatu "pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa penulis Weda atau Tuhan apa yang dibuatkan upacara.[127] Mimamsa menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang tertulis dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk keperluan mantra belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang sebenarnya merupakan "kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan mantra belaka.[173]

Atman dan jiwa[sunting | sunting sumber]

Diagram yang menunjukkan lapisan penyelubung atman:
 • annamayakosa (lapisan badan kasar yang mengandung daging dan kulit)
 • pranamayakosa (lapisan tenaga kehidupan)
 • manomayakosa (lapisan pikiran atau indera yang menerima rangsangan)
 • wijanamayakosa (lapisan nalar, akal budi, atau kecerdasan)
 • anandamayakosa (lapisan kebahagiaan atau tubuh kausal)
Dalam agama Hindu terdapat keyakinan bahwa ada "sesuatu yang sejati" dalam tiap individu yang disebut atman, sifatnya abadi atau tidak terhancurkan.[174] Taittiriya-upanishad mendeskripsikan bahwa atman individu diselimuti oleh lima lapisan:annamayakosapranamayakosamanomayakosawijanamayakosa, dan anandamayakosa.[175] Istilah atman dan jiwa kadangkala dipakai untuk konteks yang sama. Dalam suatu pengertian, atman adalah percikan dari Brahman, sedangkan jiwa adalah penggerak segala makhluk hidup.[176]
Menurut teologi Hindu yang monistis/panteistis (seperti mazhab Adwaita Wedanta), sukma individu sama sekali tiada berbeda dariBrahman. Sukma individu disebut jiwatman, sedangkan Brahman disebut paramatman. Maka dari itu, ajaran ini disebut aliran non-dualis.[165] Ketika tubuh individu hancur, jiwa tidak turut hancur. Sebaliknya, ia berpindah ke tubuh baru melalui reinkarnasi(samsara). Jiwa mengalaminya karena diselubungi oleh awidya atau "ketidaksadaran" bahwa dirinya sesungguhnya sama dengan Paramatman. Tujuan kehidupan menurut mazhab Adwaita adalah untuk mencapai kesadaran bahwa atman sesungguhnya sama dengan Brahman.[177] Kitab Upanishad menyatakan bahwa siapa pun yang merasakan bahwa atman merupakan esensi dari tiap individu, maka ia akan menyadari kesetaraan dengan Brahman, sehingga mencapai moksa (kebebasan atau kemerdekaan dari proses reinkarnasi/samsara).[178]
Yoga dari Resi Patanjali—sebagaimana yang diuraikan dalam Yogasutra—berbeda dengan monisme yang diuraikan dalam filsafat Adwaita.[179] Menurut yoga, pencapaian spiritual tertinggi bukanlah untuk menyadari bahwa segala kemajemukan di alam semesta merupakan maya. Jati diri yang diperoleh saat mencapai pengalaman religius tertinggi bukanlah atman belaka. Itu hanyalah salah satu jati diri yang ditemukan oleh individu. Meruntuhkan "tembok alam sadar manusia" untuk membangun "persatuan" jati diri individu (jiwatman) dengan sukma alam semesta (paramatman), merupakan tujuan praktik yoga.[180]
Menurut pemahaman dualistis seperti mazhab Dwaita, jiwa merupakan entitas yang berbeda dengan Tuhan, namun memiliki kesamaan. Jiwa bergantung kepada Tuhan, sedangkan pencapaian moksa (lepas dari samsara) bergantung kepada cinta pada Tuhan serta kasih sayang Tuhan.[181]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar