Jumat, 22 Januari 2016

keanekaragaman agama hindu

Keanekaragaman

Diversitas Hinduisme

Anak-anak Hindu saat perayaangaijtra di KathmanduNepal.

Ritual keagamaan Hindu di Candi PrambananYogyakartaIndonesia.



Tari kebaktian yang dilakukan wanita Hindu di MoskwaRusia.

Upacara barthaband pooja di Bagmati, Nepal.



Seorang petapa Hindu di tepi sungai GanggaBenaresIndia.

Ritus tindik lidah saatthaipusam di Batu Caves,Malaysia.



Perayaan mandi suci (baruni snan) di Bangladesh.

Praktisi yoga melakukan sikaphalasana di Zhengzhou,Tiongkok.



Prosesi keagamaan Hindu di Bali,Indonesia.

Anak-anak Hindu dengan pakaian tradisional dari Afghanistan.


Agama Hindu dapat dideskripsikan sebagai sebuah wadah tradisi yang memiliki "sifat kompleks, bertumbuh, berhierarki, dan kadangkala inkonsisten secara internal."[69] Agama Hindu tidak mengenal "satu sistem kepercayaan yang disusun demi menyeragamkan keyakinan atau iman",[16] namun menjadi istilah awam yang meliputi kemajemukan tradisi keagamaan di India.[70][71] Menurut Mahkamah Agung India:
Tidak seperti agama lainnya di dunia, agama Hindu tidak mengklaim satu nabi saja, tidak memuja satu dewa saja, tidak menganut satu konsep filosofis saja, tidak mengikuti atau mengadakan satu ritus keagamaan saja; faktanya, ciri-ciri [agama Hindu] itu tidak seperti agama atau kepercayaan lain pada umumnya. Tak lain dan tak bukan, agama [Hindu] itu merupakan suatu jalan hidup.[g][72][73]
Salah satu masalah dalam merumuskan satu definisi tentang istilah "agama Hindu" adalah adanya fakta bahwa agama Hindu tidak didirikan oleh seorang tokoh.[16][74] Agama ini merupakan sintesis dari berbagai tradisi, atau himpunan tradisi keagamaan yang berbeda tetapi memiliki persamaan.[48][50]
Konsep ketuhanan dalam tubuh agama Hindu pun tidak seragam. Beberapa aliran bersifat monoteisme—mengagungkan WisnuKresna, atau Siwa—sementara aliran lainnya bersifat monisme, yang memandang bahwa para dewa atau sembahan apa pun merupakan manifestasi beragam dari Yang Maha Esa.[75]Beberapa aliran Hindu bersifat panenteisme—sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita—yang meyakini bahwa Tuhan meresap ke seluruh alam semesta, namun alam semesta bukanlah Tuhan.[76]Beberapa filsafat Hindu membuat postulat ontologi teistis (dalil ketuhanan) tentang penciptaan dan peleburan alam semesta, meskipun beberapa umat Hindu merupakan ateis yang memandang Hinduisme tak lebih dari sebuah filsafat, bukan agama.
Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu sistem saja untuk mencari "keselamatan" (salvation),[16]namun mengandung sejumlah aliran dan berbagai bentuk tradisi keagamaan.[77] Beberapa tradisi Hindu mengandalkan ritus tertentu sebagai hal penting demi keselamatan, namun berbagai pandangan mengenai hal tersebut juga hadir secara berdampingan. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan reinkarnasi (samsara, atau siklus lahir-mati) yang ditentukan oleh hukum karma, dan gagasan tentang "keselamatan" adalah kondisi saat individu terbebas dari siklus lahir-mati yang terus berputar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, agama Hindu dipandang sebagai agama yang paling kompleks dari seluruh agama yang masih bertahan hingga saat ini.[78]

Persamaan[sunting | sunting sumber]

Di samping berbagai perbedaan yang teramati, ada pula rasa persamaan dalam Hinduisme.[79] Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental dalam tubuh Hinduisme, yang mendasari berbagai perbedaan dalam bentuk-bentuk pelaksanaannya.[34] Pada umumnya, umat Hindu mengenal berbagai nama dan gelar seperti WisnuSiwaSaktiHyangDewata, dan Batara. Beberapa aliran memandang nama dan gelar tersebut sebagai aneka manifestasi dari Yang Maha Esa atau Yang Mahakuasa, sehingga agama Hindu dapat dikatakan bersifat monisme. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan makhluk ilahi/makhluk surgawi, yang dipandang tidak setara dengan Yang Mahakuasa, sedangkan beberapa aliran juga memandangnya sebagai manifestasi dari Yang Mahakuasa.[75] Karakteristik lainnya—yang kerap dijumpai dalam tubuh Hinduisme—adalah iman tentangreinkarnasi dan karma, serta keyakinan akan kewajiban yang harus dipenuhi secara mutlak (darma).
Selain itu, banyak aliran Hinduisme mentakzimkan suatu kumpulan kitab suci yang disebut Weda, meskipun ada beberapa aliran yang mengabaikannya.[80] Sekte Hindu seperti Linggayata bahkan tidak mengikuti Weda, namun masih memiliki kepercayaan akan Siwa.[81] Sebaliknya, sekte Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang disebut Akilattirattu Ammanai,[82] namun masih mengimani Tuhan yang sama dengan Hinduisme—contohnya Narayana dan Laksmi—serta memiliki sejumlah mitos yang mirip dengan mitologi Hindu pada umumnya.
Dalam perkembangannya, tradisi Hindu yang cenderung mengagungkan Wisnu—atau Narayana dan Kresna—disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa disebut Saiwa(Saiwisme). Dilihat dari luar, aliran Saiwa dan Waisnawa memiliki konsep tersendiri tentang Tuhan yang diagungkan. Menurut Halbfass, meskipun aliran Saiwa dan Waisnawa dapat dipandang sebagai aliran keagamaan yang mandiri, ada kadar interaksi dan saling acu antara para teoretikus dan pujangga dari masing-masing tradisi yang mengindikasikan adanya rasa jati diri yang lebih luas, rasa koherensi dalam konteks yang sama, serta inklusi dalam kerangka dan garis besar [kepercayaan] secara umum.[79]
Menurut Nicholson, pada masa antara abad ke-12 dan ke-16, para cendekiawan tertentu mulai memandang "benang merah" terhadap kekayaan ajaran filsafat yang berasal dari UpanishadwiracaritaPurana, dan beberapa mazhab yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum."[26] Tendensi dari kekaburan distingsi filosofis juga digarisbawahi oleh Burley.[83] Hacker menyebut perihal tersebut sebagai "inklusivisme",[84] dan Michaels berpendapat tentang "sifat identifikasi diri".[85]Menurut Lorenzen, rasa identitas ke-Hindu-an bermula dari masa interaksi antara kaum Muslim dan Hindu,[86] dan dari sebuah proses penentuan jati diri untuk membedakan kaum Hindu dengan kaum Muslim, yang sudah dimulai sebelum 1800-an.[87] Menurut Michaels:
Sebagai pencegahan terhadap supremasi Islam, dan sebagai bagian dari proses regionalisasi yang berkelanjutan, dua inovasi keagamaan berkembang dalam tubuh agama Hindu: pembentukan sekte-sekte serta historisasi yang mendahului nasionalisme pada masa berikutnya … Para orang suci, dan kadangkala pemuka sekte yang militan, seperti pujangga Maratha [bernama] Tukaram (1609–1649) dan Ramdas (1608–1681), menyuarakan gagasan-gagasan yang mengagungkan kejayaan agama Hindu pada masa lampau. Para brahmana juga menyusun tulisan-tulisan bersejarah yang kian bertambah, terutama eulogi dan riwayat tempat-tempat suci (mahatmya), atau mengobarkan semangat reflektif untuk menghimpun dan menggubah suatu koleksi kutipan yang ekstensif tentang berbagai subjek.[h][88]
Inklusivisme ini dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-19 dan ke-20 oleh gerakan reformasi Hindu dan Neo-Vedanta, serta telah menjadi karakteristik agama Hindu modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar