Jumat, 22 Januari 2016

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Akar filosofis[sunting | sunting sumber]

"Gua Tukang Kayu" Buddhis diElloraMaharashtra, India
Secara historis, akar Buddhisme terletak pada pemikiran religius dari India kuno selama paruh kedua dari milenium pertama SEU.[10]Pada masa tersebut merupakan sebuah periode pergolakan sosial dan keagamaan, dikarenakan ketidakpuasaan yang signifikan terhadap pengorbanan dan rital-ritual dari Brahmanisme Weda[note 2] Tantangan muncul dari berbagai kelompok keagamaan asketis dan filosofis baru yang memungkiri tradisi Brahamanis dan menolak otoritas Weda dan para Brahmana.[note 3][11] Kelompok-kelompok ini, yang anggotanya dikenal sebagai sramana, merupakan kelanjutan dari sebuah untaian pemikiraan India yang bersifat non-Weda, yang terpisah dari Brahmanisme Indo-Arya.[note 4] Para ahli memiliki alasan untuk percaya bahwa ide-ide seperti samsara, karma (dalam hal pengaruh moralitas terhadap kelahiran kembali), dan moksha, berasal dari sramana, dan kemudian diadopsi oleh agama ortodoks Brahmin.[note 5][note 6][note 7][note 8][note 9][note 10]
Pandangan ini didukung oleh penelitian di wilayah di mana gagasan ini berasal. Buddhisme tumbuh di Magadha Raya, yang terletak di sebelah barat laut dari Sravasti, ibu kota Kosala, ke Rajagraha di sebelah tenggara. Negeri ini, di sebelah timur aryavarta, negeri bangsaArya, yang dikenal sebagai non-Weda.[19] Naskah Weda lainnya mengungkap ketidaksukaan penduduk Magadha, kemungkinannya karena Magadha pada masa tersebut belum mendapat pengaruh Brahmanisme.[20] Sebelum abad ke-2 atau ke-3 SEU, penyebaran Brahmanisme ke arah timur memasuki Magadha Raya tidaklah signifikan. Pemikiran-pemikiran yang berkembang di Magadha Raya sebelum abad tersebut tidak tunduk pada pengaruh Weda. Ini termasuk tumimbal lahir dan hukum karma yang muncul dalam sejumlah gerakan di Magadha Raya, termasuk Buddhisme. Gerakan-gerakan ini mewarisi pemikiran tumimbal lahir dan hukum karma dari kebudayaan yang lebih awal.[21]
Pada saat yang sama, gerakan-gerakan ini dipengaruhi dan dalam beberapa hal melanjutkan pemikiran filosofis dalam tradisi Weda, sebagaimana terefleksi misalnya di dalamUpanishad.[22] Gerakan-gerakan ini termasuk, selain Buddhisme, berbagai skeptis (seperti Sanjaya Belatthiputta), atomis (seperti Pakudha Kaccayana), materialis (seperti Ajita Kesakambali), antinomian (seperti Purana Kassapa); aliran-aliran terpenting pada abad ke-5 SEU adalah Ajivikas, yang menekankan aturan nasib, Lokayata (materialis),Ajnanas (agnostik) dan Jaina, yang menekankan bahwa jiwa harus dibebaskan dari materi.[23] Banyak gerakan-gerakan baru ini berbagi kosa kata konseptual yang sama seperti atman ("diri"), buddha ("yang sadar"), dhamma ("aturan" atau "hukum"), karma ("aksi/perbuatan"), nirvana ("padamnya nafsu"), samsara ("lingkaran penderitaan"), danyoga ("praktek spiritual").[note 11] Para sramana menolak Weda, dan otoritas brahmana, yang mengklaim mereka memiliki kebenaran terungkap yang tidak bisa diketahui dengan cara manusia biasa mana pun. Selain itu, mereka menyatakan bahwa seluruh sistem Brahmanikal adalah penipuan : sebuah konspirasi para brahmana untuk memperkaya diri mereka sendiri dengan membebankan biaya terlalu tinggi untuk melakukan ritual palsu dan memberikan nasihat tak berguna.[24]
Kritik terutama dari Buddha adalah pengorbanan hewan secara Weda.[web 2] Dia juga menyindir "gita manusia kosmis" dari Weda.[25] Namun, Sang Buddha tidaklah anti-Weda, dan menyatakan bahwa Weda dalam bentuk sejatinya dinyatakan oleh "Kashyapa" kepada resi tertentu, yang melalui pertapaan berat telah memperoleh kekuatan untuk melihat dengan mata ilahi.[26] Dia menamakan para resi Weda, dan menyatakan bahwa Weda orisinil dari para resi[27][note 12] telah diubah oleh beberapa Brahmin yang memperkenalkan pengorbanan hewan. Sang Buddha mengatakan bahwa hal tersebut termasuk dalam pengubahan dari Weda sejati sehingga dia menolak untuk menghormati Weda pada masanya.[28] Namun, dia tidak meninggalkan ikatan dengan Brahman,[note 13] atau gagasan diri menyatu dengan Tuhan.[30] Pada saat yang sama, Hindu tradisional sendiri secara bertahap mengalami perubahan mendalam, bertransformasi menjadi apa yang dikenal sebagai Hindu awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar